Rabu, 01 April 2009

Prelude Obiter Dicta

Tanggapan atas tulisan Salto Mortal:
Prelude Obiter Dicta
Soesilo Toer

Mas Gun, aku adalah pemulung amatir. Hampir semua kupungut di perjalanan panjang hidupku, termasuk sajak penyair pemula ini:

Aku ini gelap...
tertutup kabut hitam
berselimut jaring ketam
hidup bagai budak
tak pernah merasa nyaman

Begitulah kiranya track recordku selama ini, sampai kemudian kupungut Salto Mortalmu beberapa waktu yang lalu. Aku bak menemukan lentera, pelita yang memberi pencerahan sujud senjaku. Sungguh tak tahu aku sebelumnya apakah ini le bonne volonte, Blodsinn atau Effahrungnya seorang pasifis dan pesimis seperti diriku ini. Padahal berapa lamakah kita ini bisa hidup. Vita brevis. Padahal kita mau abadi, setidaknya nama, setidaknya karya. Ars longa. Tak usahlah seperti Gerald Croiset, seorang yang mempunyai kekuatan dan kemampuan supra natural. Matanya itu mas, mampu menembus ruang dan waktu. Ia mampu mengendus suatu peristiwa yang akan terjadi. Juga yang sudah terjadi. Namun ia juga manusia biasa, yang tidak bisa mengendus panjang umurnya sendiri. Ia manusia biasa dengan kekurangan, kebodohan dan segudang kesalahan dan kekeliruannya. Apa kurangnya dia? Harta ketenaran, kehebatan? Semua! Lalu siapa diriku? Mana mungkin aku mengatur orang lain? Tidak sendirian lagi. Sedang tiap individu punya sejuta ego, ambisi, hasrat, nafsu. Aku ini paria, budak. Banyak ungkapan indah orang besar, ternama, pemikir. Semua hasil renungannya, pencerahannya. Namun teori mengalahkan bukti. Dikatakan dengan etikad baik, yang terjelekpun bisa diselesaikan. Epist etimologi apa ini?

Dalam lukisan karya Bayu Widodo (2006), yang turut dipamerkan dalam acara yang menelorkan Salto Mortal mu yang penuh pencerahan, gelitik kritik dan segudang harapan, tertera tesis, barangkali juga sintesis: “tiap manusia punya hak yang sama”. Betapa agungnya, betapa bermaknanya. Seperti yang anda sitir dari bak renungannya mas Moek “adil sejak dalam pikiran”. Dalam ilham ada faktor-faktor kausatif yang tidak terdeteksi oleh kesadaran otak manusia. Dan ini adalah ironi hidup semua orang! Ironi yang juga menyangkut diri anda, aku dan kita semua. Monumen dan moment seperti ini adalah lumrah. Siklus hidup kita itu memang demikian. Dalam tubuh kita ini terdapat semua photon, energi yang beku dan kalau ia mencair akan mengakibatkan efek ketidakseimbangan. Baik itu positif, baik itu negatif, produktif maupun kontra. Tak ada yang abadi, semua berubah. Juga Komunitas Pasang Surut. Makin modern masyarakat makin penuh dengan kerangkeng, rambu dan warning. Perkawinan juga kerangkeng yang disakralkan. Dan orang mencari kerangkeng itu untuk memenjara dirinya. Dengan sukarela dan sukahati lagi. Mungkin dalam menemukan pencerahan, dalam mencari jati dirinya orang mencoba mencairkan energi yang beku tersebut. Dengan pengorbanan menyertainya. Bahkan sampai nyawa taruhannya. Mungkin dongengnya akan lain kalau tidak terjadi pelecehan seksual atas moralis Rousseau di masa kanak-kanaknya. Juga dengan diri tokoh setenar Tschaikovsky dengan “Swan Lake” nya, roman percintaannya yang mengharukan, perkawinannya yang tragis, penyimpangan seksualnya yang romantis dan kematiannya yang menyedihkan. Tak beda dengan tsarina Rusia yang paling hebat sejagad. Janda, tawanan, butahuruf, dan kepala pacar gelapnya yang menghiasi peraduannya. Tak beda dengan pemunculannya raja fisikawan Stephen Hawking, yang sudah dipunish mati oleh medik Amerika. Ironi manusia dengan segala kekecualian dan keberuntungannya campur aduk antara yang produktif dan kontranya. Nasib manusia tergantung bukan pada dirinya sendiri, keringatnya, tapi juga tangan jahil-manis lingkungannya. Tak tahu aku apakah Einstein bisa menemukan teori khusus dan umum relativitas tanpa cerutu dan gaya bohemiannya yang khas, nglomprot, cuek atas segala kemapanan. Hidup praktis, bermanfaat. Juga Chairil Anwar, apa dia jadi dia tanpa ngembun, juga Van Gogh yang nyentrik. Apa bedanya dengan Multatuli, philantropist gaek, Gandhi, atau Samin Surontiko, sang Robinhood Jawa, atau mas Moek sendiri dengan karyanya, enertia karya merupakan kelahiran kebetulan yang serba kebetulan. Yang utama adalah caranya bukan hasilnya. Merokok, minum tak ada kaitannya dengan ilham namun katanya keduanya saling mengisi dan melengkapi untuk mencapai klimaks berimajinasi. Mungkin setiap orang berusaha berbuat seperti apa yang dianggapnya benar. Mereka lebur dalam berimajinasi duka dan nestapa. Semua itu adalah norma dan bukan yang lain untuk mewujudkan teka-teki datangnya pencerahan, V.A.

Mas Gun, tak berani aku berjanji kepada anda dan kepada siapapun. Anggaplah ini sekedar obiter dicta antara kita berdua dan semua mereka yang contained. Semua dari kita dibedakan oleh diffrentia spesifica. So, in attempt to take success or fail, let bygones be bygones and keep alive our community. Napoleon pernah berucap bahwa antara jaya dan nista itu cuma selangkah bedanya.

Sebagai penutup kudongengkan cuplikan hidupku dengan mas Moek khusus buatmu:

Itu terjadi tahun 2005, terakhir kali mas Moek datang ke Blora. Anak isteri dan cucu lanjut ke Surabaya dan Bali. Aku dapat tugas mengawalnya pulang ke Bojonggede. Bangga, ragu dan juga sedikit kecut. Sebab seumur hidup baru pertama kali dapat tugas seperti itu. Alasan mas Moek batal kia-kia karena banyak kerja. Baru sekitar lima kilometer dari Blora sudah timbul masalah. Mas Moek ternyata beser. Tak ingat aku berapa kali aku mengawalnya ke kakus. Sekali peristiwa, karena bus oleng, mas Moek kehilangan keseimbangan dan tersungkur di koridor bus. Sudah begitu rapuh dia. Padahal waktu pulang dari pulau Buru, ia menantangku main panco. Dan kulayani. Aku kalah karena kalah wibawa. Sepanjang perjalanan ia tampak gelisah, tak mau makan bawaan bekal isterinya, justru bekalku yang dibabatnya. Sesudah sampai di Bogor, ia baru mengungkapkan kegelisahannya. Ternyata ia lupa alamat rumahnya sendiri. Baru ketika kami turun dan sampai di gang “Warung Ulan”, kegelisahannya sirna. Ia tergopoh-gopoh dengan gaya njentit, yang kaya teman-teman bekas tapol, jalannya sudah bikin sewot para petugas. Ketika pintu gerbang dibukakan oleh penjaga rumah semua bekal diberikan kepadanya sebagai oleh-oleh. Ia kemudian ngacir ke lemari buffet, mengambil sesuatu menuang dan mereguknya, bersulang denganku dan kemudian dari subuh sampai sore ia berkutat di kamar kerjanya, tanpa makan. Jadi di samping merokok dan dirokok, mas Moek ku pun suka minum, mas Gun. Tapi tolong jangan bilang siapa-siapa ya!

Blora, 25 Maret 2009

Salto Mortal

Salto Mortal
 
Gunawan Budi Susanto
 
DULU, saat remaja, saya jadi peminum. Saya menemu pembenaran dalam unen-unen: urip kuwi amung mampir ngombe. Maka, malam-malam pun jadi hambar jika lidah tak mencecap arak, ciu, atau tuak yang meruapkan kehangatan yang melenakan.
Mabuk jadi modus perlawanan dari kemapanan yang menyerikan. Lalu, bermetaforfosis jadi suaka dari kenyataan hidup yang tak menyamankan perasaan dan memempatkan pikiran. Arak, ciu, tuak membuat saya merasa jadi pemberani, digdaya, super.
Bertahun-tahun kemudian baru saya menyadari betapa dogol sikap dan tindakan itu. Betapa bebal! Mabuk malih rupa jadi tameng bagi kemalasan, tabir bagi kegamangan menghadapi kekerasan realitas kehidupan. Ya, mampir ngombe arak, ciu, tuak setiap malam bertahun-tahun telah menguras segenap daya hidup, mengenyahkan élan vital, untuk berbuat baik dan benar. Jiwa saya mengerdil, kepribadian saya berantakan, dan orbit sosial saya pun menyempit. Kontraproduktif! Saya jadi parasit bagi keluarga, sampah bagi ruang sosial.
Sampai suatu ketika saya memutuskan hidup sehat, tanpa minuman keras. Maka, ketika seorang kawan mengoleh-olehi sebotol wine, saya simpan botol seksi itu tanpa pernah membukanya. Sampai sekarang. Setelah berpuluh tahun lewat, setiap kali melihat botol seksi itu, saya membatin, “Itulah monumen kebodohan saya.”
Karena itulah, Pak Soesilo Toer, saya geram, teramat geram saat menyaksikan segelintir anak muda, yang mengaku seniman dan eksponen kelompok punk, menenggak minuman keras di Perpustakaan Pramoedya Anak Blora (Pataba). Ironi memedihkan: pengenyahan energi kreatif justru di sarana pembelajaran dan pencerdasan intelektual.
Celaka, ironi itu bisa menjadi salto mortal, salto kematian, bagi Pataba dan Komunitas Pasang Surut – aliansi berbagai elemen masyarakat di Blora, penggemar karya-karya Pramoedya Ananta Toer, kakak sampean. Lantaran, ulah itu berlangsung saat Pataba dan Komunitas Pasang Surut menyelenggarakan perhelatan “1000 Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa”, 1-7 Februari silam.
Perhelatan itu adalah tonggak keberhasilan upaya awal sampean dan kawan-kawan. Puluhan komunitas dari berbagai kota di Indonesia terlibat. Puluhan orang tua dan kaum muda dari beragam latar belakang disiplin dan politik-ideologis datang, berdialog, dan berproses bersama dalam kesetaraan. Tanpa syakwasangka, tanpa kecurigaan – melawan iklim pergaulan yang terbangun puluhan tahun dalam cengkeraman rezim penguasa yang tiranik-militeristik.
Perhelatan untuk mengenang seribu hari kematian Pram itu jadi ajang pertemuan dan dialog lintas-generasi, lintas-ideologi, dan lintas-disiplin. Juga dialog antara masa lalu dan masa kini. Rekonsiliatif.
Dan, itu bukan buah kerja sehari-dua. Namun bertahun-tahun. Itu bermula dari upaya sampean membuka “rumah hantu” – peninggalan mendiang M Toer, ayah sampean dan Pram – dan menjadikannya “rumah budaya”. Kini, rumah di Jalan Sumbawa 40 Blora itu jadi ruang terbuka bagi siapa pun untuk belajar bersama dalam kerja kebudayaan: mengekspresikan kemanusiaan secara cerdas melalui berbagai cara, termasuk kesenian dan kegiatan intelektual.
Bukan perkara mudah mengubah atmosfer rumah yang berpuluh tahun -- sejak sampean cum cuis diasingkan ke Pulau Buru – diwartakan sebagai rumah berhantu: hantu beneran bagi kanak-kanak dan “hantu komunis” bagi manusia dewasa. Dan, menjadi rumah yang ramah bagi siapa pun yang mau menyadari bahwa manusia mesti mengedepankan kemanusiaannya. Secara merdeka pula. Ya, bukankah Pram pernah menyatakan seorang terpelajar harus bersikap adil bahkan sejak dalam pikiran?
Nah, ketika rumah itu sudah didatangi banyak orang dari berbagai kawasan, dari beragam latar belakang, menyingkirlah sang hantu dari benak anak-anak. Perkara lebih sulit adalah mengenyahkan sosok hantu yang dihidup-hidupkan dalam kesadaran manusia dewasa.
Tak gampang mengubah, terlebih menghilangkan, stigma yang kadung melekat: bahwa (sampean cum cuis adalah) komunis, sejahat-jahat manusia, dajal laknat, leletheking jagad gelah-gelahing bumi. Apalagi tak banyak orang mau bersusah-susah mengusut tuntas benarkah sampean (pernah jadi) komunis. Padahal, bukankah dalam “surat pembebasan” disebutkan, sampean, Pram, serta Prawita Waloejadi Toer dan Koesalah Soebagjo Toer tak terbukti bersalah terlibat “G30S/1965”? Aneh dan lucu! Lantaran, sampean cum cuis memang tak pernah diajukan ke pengadilan bukan? Jangankan pengadilan yang adil, jujur, dan terbuka, pengadilan bohong-bohongan pun tak.
Ah, sudahlah…. Kini, jauh lebih penting adalah upaya nyata menghilangkan stigma itu seiring selangkah dengan kerja kreatif untuk menjemba masa depan yang beradab dan berkeadilan bukan?
Namun, sungguh, ulah segelintir kawan di perpustakaan di samping rumah induk itu bisa mengganjal niat dan ikhtiar membangun (atmosfer) rumah budaya sehingga jadi wahana pembelajaran bagi siapa pun untuk menjadi manusia merdeka. Upaya keras sampean menghilangkan stigma belum sepenuhnya berhasil. Namun, kini, bisa ternodai dan muncul stigma tambahan: rumah (itu adalah tempat berkumpul) kaum bergajulan.
Alih-alih sebagai manifestasi kesadaran ideologis (antikemapanan) atau jadi energi kreatif yang ngedab-edabi, mereka menenggak minuman keras lebih sebagai gaya hidup yang kontraproduktif. Cermin ketiadaan daya juang, ketiadaan élan vital. Minum minuman keras, bagi mereka, telah menjadi suaka dari ketidakberdayaan, dari kemalasan, dari kompleks rendah diri.
Pak Soes, sebelum ngambra-ambra, gaya hidup dekaden itu mesti diperangi. Tak ada tempat dan saat bagi sang pemalas untuk tumbuh jadi benalu, jadi parasit, yang kelak membunuh tanaman induk.
Saya percaya, tujuan dan ikhtiar yang baik mesti ditempuh dan diwujudkan dengan cara yang baik, cara yang indah. Membiarkan kemalasan, menenggang gaya hidup dekaden, jelas kontraproduktif bagi pembelajaran bersama untuk jadi manusia merdeka. Saya yakin, jika Pram masih hidup, dia pasti menyetujui sikap dan pendapat saya. Akhirul kalam, merdeka!
 
(Dimuat di rubrik “Latar” Suara Merdeka, Minggu, 8 Maret 2009, halaman 27)

Kamis, 01 Januari 2009

1000 WAJAH PRAM DALAM KATA & SKETSA






Pramoedya Ananta Toer, sastrawan besar kelahiran Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925, anak tertua dari M. Toer, kepala sekolah Institut Boedi Oetomo ini semasa hidupnya banyak melahirkan karya brilian: tulisan berbentuk artikel, puisi, cerpen maupun novel, hingga melambungkan namanya sekelas dengan para sastrawan dunia seperti Gunter Grass (Jerman), Albert Camus, Jean-Paul Satre (Perancis), Multatuli (Belanda), John Steinbeck (Amerika), Rabindranath Tagore (India), Gao Xinjian (Cina), Gabriel Garcia Marquez (Kolombia), maupun Jose Saramago (Portugis).

Sosok yang diidentikkan sebagai tokoh demokrat sejati dan pejuang penegakan hak asasi manusia ini pada tahun 2002 pernah dinobatkan sebagai “Pahlawan Asia” oleh majalah Time Singapore. Memang, beliau semasa hidupnya sangat produktif dalam menulis. Berbagai penghargaan pernah diberikan padanya, beberapa di antaranya adalah dari UNESCO, The Wertheim Foundation (Belanda), Ramon Magsaysay Award Foundation (Filipina), University of Michigan, University of California (AS), Le Ministre de la Culture et de la Communication Republique Francaise (Perancis) hingga Fukuoka Cultural Grand Prize (Jepang).

Seperti tulisannya, perjalanan hidupnya pun penuh liku dan kelokan terjal. Sebagian dari naskah-naskahnya banyak yang hilang di tangan penerbit, dirampas oleh Belanda, dibakar oleh Angkatan Darat dan dilarang oleh Jaksa Agung sewaktu pemerintahan Orde Baru. Bahkan, hampir separuh hidupnya dihabiskan dalam penjara dalam perjuangannya untuk kemanusiaan. Ia pernah ditahan dari penjara ke penjara: 3 tahun dalam penjara Kolonial, 1 tahun di Orde Lama, dan 14 tahun di Orde Baru, diasingkan ke Pulau Buru, Magelang dan Semarang, hingga pada tahun 1979 dinyatakan bebas tanpa proses pengadilan dan dinyatakan tidak bersalah.

Saat ini, tidak semua orang tahu, bahwa sosok kelahiran kota yang dikelilingi bukit kapur, jati dan minyak bumi dengan para pejabatnya yang korup ini sudah sangat mendunia. Buku-buku hasil karyanya sampai saat ini sudah diterjemahkan dalam 42 bahasa, bahkan di Malaysia, Jepang dan Belanda menjadi bacaan wajib bagi siswa sekolah.Walau di luar negeri namanya begitu terkenal namun ironisnya tak banyak mendapat nama baik di kota kelahirannya: Blora, hingga maut menjemputnya di Jakarta, 30 April 2006 silam.

Untuk itu dalam rangka memperingati 1000 hari meninggalnya beliau, tanggal 1-7 Februari 2009 rencana kami bersama kawan-kawan komunitas akan mengadakan acara yang berjudul “1000 Wajah Pram dalam Kata & Sketsa” bertempat di rumahnya di Jl. Sumbawa 40 Jetis Blora.

Sebagai bentuk penghargaan terhadap konsekwensi perjuangannya, kami berencana menyelenggarakan pameran lukisan dan membuat sebuah buku kecil semacam bunga rampai yang berisi kumpulan cerita, pendapat, kesan, maupun pengalaman dari kawan-kawan tentang penulis yang beberapa kali menjadi Kandidat Pemenang Nobel Sastra ini.

Kawan-kawan yang berminat bisa mengirimkan tulisan berbentuk essay, artikel, cerpen, maupun puisi. Diketik maksimal 2 halaman. Pengiriman tulisan paling lambat tgl.15 Januari 2009 ke email: supersamin_inc@yahoo.com. Sedangkan lukisan/ poster/ foto/ stensil bisa dikirim langsung ke sekretariat Jl. Sumbawa 40 Jetis Blora atau via email dalam format JPEG paling lambat 20 Januari 2009.

Semoga melalui langkah kecil pendokumentasian ini bisa memberikan sesuatu yang lebih baik bagi perkembangan bangsa dan kemanusiaan di masa mendatang.




SERIBU WAJAH PRAM
“Membumikan Pemikiran Sastrawan Tierra Humana”
Blora, 1-7 Februari 2009

Kita Bisa Berbuat Apa untuk Bumi dan Manusia?

Komunitas Pasang Surut Blora akan menggelar kegiatan memeringati 1000 hari meninggalnya sastrawan asal Blora, Pramoedya Ananta Toer, bertema “Seribu Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa”. Kegiatan itu akan berlangsung di Jalan Sumbawa 40 Jetis Blora pada 1-7 Februari 2009, dengan aneka kegiatan, seperti pameran foto dan lukisan, instalasi sampah, performance art, teater, diskusi, pemutaran film, pertunjukan wayang kulit, dan festival musik.
“Seribu Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa” mau mengungkap pergulatan batin dan pemikiran Pram melalui media foto, lukisan, puisi, dan instalasi. Berbagai media itu merupakan “buku bacaan” yang dapat dibaca lembar demi lembar, sehingga berbagai emosi, ekspresi, dan kekhasan Pram, terpancar di hadapan “pembacanya”.
“Seribu Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa” mau menggulirkan pula berbagai pemikiran dan aneka pengalaman Pram yang belum pernah terungkap di permukaan. Semua termaktub dalam gelindingan kisah pengalaman kedekatan adik-adik dan teman Pram, puisi-puisi dari sejumlah penyair, dan esai-esai sejumlah penulis pengagum Pram.
Akhirnya, “Seribu Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa” bertumpu pada sebuah gerakan kecil dan keinginan membumikan pemikiran sang sastrawan tierra humana (bumi manusia). Melalui berbagai tulisan dan kesaksian hidupnya, Pram selalu tidak bisa melepaskan bumi, sebagai tanah kelahiran yang mengandung aneka sumber daya alam dengan berbagai persoalannya.
Di sisi lain yang saling bertautan, Pram selalu menyinggung soal manusia, sang lakon utama yang hidup di bumi sekaligus mempunyai tanggung jawab atasnya. Hakekat dan persoalan tentang manusia juga tak lepas dari Pram.
HB Yasin dalam pengantar “Percikan Revolusi Subuh” mengatakan Pram sangat jeli melukiskan manusia dan kemanusiaan dalam kata-kata. Pram kerap bertanya tentang apa kebebasan itu? Apa siksaan? Apa keadilan bagi rakyat jelata? Bagaimana perjuangan cita-cita dan perut? Apa itu persahabatan? Apa itu keluarga?
Pram secara dekat menelanjangi manusia berdasarkan pengalaman hidupnya. Manusia diperlihatkan dalam kesungguhannya, kepalsuannya, kekuatannya, kelemahannya, dan keseluruhannya.
Profesor Universitas Leiden, Belanda, A Teeuw, dalam Modern Indonesia Literature (1967) mengatakan pemikiran Pram tentang Tierra Humana memuncak dalam cerpennya yang berjudul “Kemelut”. Ia berbicara tentang Tuhan yang bisa dikantongi (The God who can be pocketed) dan Tuhan yang ada di atas langit (The God above the Skies).
Tanpa tedeng aling-aling, Pram melontarkan kritik bagi manusia sekarang. Mereka lebih memilih barang berharga dan uang, ketimbang sesamanya yang menderita dan bumi yang menghidupnya. Mereka tak lebih dari manusia yang men-tuhan-kan barang dan uang.
Untuk itu, melalui “Seribu Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa”, Komunitas Pasang Surut ingin mengajak setiap orang merenungkan kembali tentang bumi dan manusia dengan beragam persoalannya. Sebuah ajakan tanpa paksaan… KITA BISA BERBUAT APA untuk bumi dan manusia yang sedang sakit di tengah pasang surut hidup kita?

Rencana Agenda Kegiatan “1000 Wajah Pram dalam Kata & Sketsa”
“Membumikan Pemikiran Sastrawan Tierra Humana”
Jl. Sumbawa 40 Jetis Blora, 1-7 Februari 2009

Minggu, 1 Februari 2009

09.00-09.30 Pembukaan Acara
09.30-10.00 Performance Art “Tierra Humana-Bumi Manusia”
10.00-12.00 Penanaman 1000 bibit jati di pinggir hutan kota dan taman Tirtonadi Blora
12.00-22.00 Pameran foto, lukisan, poster, instalasi seni dan cover buku karya Pramoedya terjemahan dari berbagai bahasa

Senin, 2 Februari 2009

09.00-22.00 Pameran foto, lukisan, poster, instalasi seni dan cover buku karya Pramoedya terjemahan dari berbagai bahasa

Selasa, 3 Februari 2009

12.00-22.00 Pameran foto, lukisan, poster, instalasi seni dan cover buku karya Pramoedya terjemahan dari berbagai bahasa

Rabu, 4 Februari 2009

12.00-22.00 Pameran foto, lukisan, poster, instalasi seni dan cover buku karya Pramoedya terjemahan dari berbagai bahasa

Kamis, 5 Februari 2009

12.00-22.00 Pameran foto, lukisan, poster, instalasi seni dan cover buku karya Pramoedya terjemahan dari berbagai bahasa
19.00-22.00 Diskusi antar komunitas peduli lingkungan: Porong Sidoarjo, Kulon Progo, Juwana, Rembang, Pati, Randublatung, Blora

Jumát, 6 Februari 2009

12.00-22.00 Pameran foto, lukisan, poster, instalasi seni dan cover buku karya Pramoedya terjemahan dari berbagai bahasa
13.30-18.00 Festival Musik “Sahabat-Sahabat Pram”: Marjinal (Jakarta), Anak Seribu Pulau (Blora), Gagego, Lesbumi (Pati), serta Aditya (cucu Pram) berjudul “Anak Tumpah Darah” karya Pramoedya Ananta Toer dan “Lagu buat Pram” karya Eros Jarot
19.00-22.00 Pemutaran film-film dokumenter, seperti Interview dengan Pram, 2 Tahun Pataba, Main Kayu, dan lain-lain serta srawung antar komunitas

Sabtu, 7 Februari 2009

12.00-22.00 Pameran foto, lukisan, poster, instalasi dan cover buku karya Pramoedya terjemahan dari berbagai bahasa
14.00-15.30 Pertunjukan Performance dari kawan-kawan Komunitas Getar, Salatiga
15.30-16.00 Teatrikal Sangkur Timur (Semarang) dengan judul P.A.T.
16.00-16.30 Performance Komunitas Arek Musium Surabaya berjudul "Abandoned"
16.30-17.00 Drama dari SMA N 1 Randublatung berjudul “Perlawanan Rakyat Tepi Hutan”
17.00-18.00 Performance Joko Pekik “Melukis 1000 Wajah Pram”
19.00-19.30 Pentas karawitan anak-anak “Sekar Arum” dari Desa Pelem Doplang
19.30-20.00 Peluncuran Buku “Bersama Mas Pram” karya Koesalah dan Soesilo Toer, terbitan KPG yang diwakili Candra Gautama . Dilanjutkan dengan penyerahan 10 buah buku sebagai hadiah kepada beberapa tokoh, seperti Bupati Blora, Pak Soes sebagai tuan rumah, Mbak Titik sebagai wakil dari keluarga Pram, cucu dari Tirto Adhi Soerjo, Erna Sentosa.

20.00-22.00 Ngobrol bareng “Kisah dan Pemikiran Sastrawan Tierra Humana” dengan moderator Soesilo Toer. Pembicara Tamu: Koesalah Soebagyo Toer, Taufiq Ismail, Ayip Rosidi, Jusuf Soewadji, dimungkinkan Joko Pekik, Tristuti dan Sindhunata turut nimbrung.
22.00-selesai Pagelaran Wayang Kulit oleh dalang Tristuti Rahmadi dengan lakon “Begawan Ciptaning”

Diselenggarakan atas kerja bareng PATABA-Komunitas Pasang Surut, dengan didukung oleh
Lentera Dipantara dan Keluarga Besar Pramoedya Ananta Toer, SuperSamin_Inc, Anak Seribu Pulau, Front Blora Selatan, SD Negeri Jetis II Blora, SMA N 1 Randublatung, SMP Bhakti Kedung Tuban, Kelompok Karawitan anak-anak Sekar Arum Desa Pelem Doplang, Perpustakaan Daerah Kab. Blora, Mahameru, LPAW, Lidah Tani, PMII, Paguyuban Perupa Blora, Kolektif Reaksi, Sor Tugu United, Roedal Revolt, Mata-Mata Tukang Sablon, Moblink, Affinitas, Taring Padi, Komunitas Porong Sidoarjo, Komunitas Arek Musium Surabaya, Kulon Progo, Sanggar Pesisir Rebang, Teater Gong Gabus Pati, Lesbumi, JM-PPK (Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng), Komunitas TuK (Tanam Untuk Kehidupan), Media Legal, Institut A, Mailist "Membaca Pramoedya", Trans TV, YPKP, Pakorba, Penerbit KPG, Kantor berita ANTARA, Tempo, Kompas beserta kawan-kawan seperjuangan lainnya.

Untuk pengiriman karya dan informasi lebih lanjut bisa menghubungi:

Komunitas Pasang Surut

Sekretariat: Jl. Sumbawa 40 Jetis Blora Jawa Tengah

Kontak person:

Bpk. Soesilo Toer Telp. (0296) 5100233

Koko' HP. 081328775879

Email: supersamin_inc@yahoo.com



Masa terbaik dalam hidup seseorang adalah masa ia dapat menggunakan kebebasan yang telah direbutnya sendiri.”

-- Pramoedya Ananta Toer