Rabu, 01 April 2009

Salto Mortal

Salto Mortal
 
Gunawan Budi Susanto
 
DULU, saat remaja, saya jadi peminum. Saya menemu pembenaran dalam unen-unen: urip kuwi amung mampir ngombe. Maka, malam-malam pun jadi hambar jika lidah tak mencecap arak, ciu, atau tuak yang meruapkan kehangatan yang melenakan.
Mabuk jadi modus perlawanan dari kemapanan yang menyerikan. Lalu, bermetaforfosis jadi suaka dari kenyataan hidup yang tak menyamankan perasaan dan memempatkan pikiran. Arak, ciu, tuak membuat saya merasa jadi pemberani, digdaya, super.
Bertahun-tahun kemudian baru saya menyadari betapa dogol sikap dan tindakan itu. Betapa bebal! Mabuk malih rupa jadi tameng bagi kemalasan, tabir bagi kegamangan menghadapi kekerasan realitas kehidupan. Ya, mampir ngombe arak, ciu, tuak setiap malam bertahun-tahun telah menguras segenap daya hidup, mengenyahkan élan vital, untuk berbuat baik dan benar. Jiwa saya mengerdil, kepribadian saya berantakan, dan orbit sosial saya pun menyempit. Kontraproduktif! Saya jadi parasit bagi keluarga, sampah bagi ruang sosial.
Sampai suatu ketika saya memutuskan hidup sehat, tanpa minuman keras. Maka, ketika seorang kawan mengoleh-olehi sebotol wine, saya simpan botol seksi itu tanpa pernah membukanya. Sampai sekarang. Setelah berpuluh tahun lewat, setiap kali melihat botol seksi itu, saya membatin, “Itulah monumen kebodohan saya.”
Karena itulah, Pak Soesilo Toer, saya geram, teramat geram saat menyaksikan segelintir anak muda, yang mengaku seniman dan eksponen kelompok punk, menenggak minuman keras di Perpustakaan Pramoedya Anak Blora (Pataba). Ironi memedihkan: pengenyahan energi kreatif justru di sarana pembelajaran dan pencerdasan intelektual.
Celaka, ironi itu bisa menjadi salto mortal, salto kematian, bagi Pataba dan Komunitas Pasang Surut – aliansi berbagai elemen masyarakat di Blora, penggemar karya-karya Pramoedya Ananta Toer, kakak sampean. Lantaran, ulah itu berlangsung saat Pataba dan Komunitas Pasang Surut menyelenggarakan perhelatan “1000 Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa”, 1-7 Februari silam.
Perhelatan itu adalah tonggak keberhasilan upaya awal sampean dan kawan-kawan. Puluhan komunitas dari berbagai kota di Indonesia terlibat. Puluhan orang tua dan kaum muda dari beragam latar belakang disiplin dan politik-ideologis datang, berdialog, dan berproses bersama dalam kesetaraan. Tanpa syakwasangka, tanpa kecurigaan – melawan iklim pergaulan yang terbangun puluhan tahun dalam cengkeraman rezim penguasa yang tiranik-militeristik.
Perhelatan untuk mengenang seribu hari kematian Pram itu jadi ajang pertemuan dan dialog lintas-generasi, lintas-ideologi, dan lintas-disiplin. Juga dialog antara masa lalu dan masa kini. Rekonsiliatif.
Dan, itu bukan buah kerja sehari-dua. Namun bertahun-tahun. Itu bermula dari upaya sampean membuka “rumah hantu” – peninggalan mendiang M Toer, ayah sampean dan Pram – dan menjadikannya “rumah budaya”. Kini, rumah di Jalan Sumbawa 40 Blora itu jadi ruang terbuka bagi siapa pun untuk belajar bersama dalam kerja kebudayaan: mengekspresikan kemanusiaan secara cerdas melalui berbagai cara, termasuk kesenian dan kegiatan intelektual.
Bukan perkara mudah mengubah atmosfer rumah yang berpuluh tahun -- sejak sampean cum cuis diasingkan ke Pulau Buru – diwartakan sebagai rumah berhantu: hantu beneran bagi kanak-kanak dan “hantu komunis” bagi manusia dewasa. Dan, menjadi rumah yang ramah bagi siapa pun yang mau menyadari bahwa manusia mesti mengedepankan kemanusiaannya. Secara merdeka pula. Ya, bukankah Pram pernah menyatakan seorang terpelajar harus bersikap adil bahkan sejak dalam pikiran?
Nah, ketika rumah itu sudah didatangi banyak orang dari berbagai kawasan, dari beragam latar belakang, menyingkirlah sang hantu dari benak anak-anak. Perkara lebih sulit adalah mengenyahkan sosok hantu yang dihidup-hidupkan dalam kesadaran manusia dewasa.
Tak gampang mengubah, terlebih menghilangkan, stigma yang kadung melekat: bahwa (sampean cum cuis adalah) komunis, sejahat-jahat manusia, dajal laknat, leletheking jagad gelah-gelahing bumi. Apalagi tak banyak orang mau bersusah-susah mengusut tuntas benarkah sampean (pernah jadi) komunis. Padahal, bukankah dalam “surat pembebasan” disebutkan, sampean, Pram, serta Prawita Waloejadi Toer dan Koesalah Soebagjo Toer tak terbukti bersalah terlibat “G30S/1965”? Aneh dan lucu! Lantaran, sampean cum cuis memang tak pernah diajukan ke pengadilan bukan? Jangankan pengadilan yang adil, jujur, dan terbuka, pengadilan bohong-bohongan pun tak.
Ah, sudahlah…. Kini, jauh lebih penting adalah upaya nyata menghilangkan stigma itu seiring selangkah dengan kerja kreatif untuk menjemba masa depan yang beradab dan berkeadilan bukan?
Namun, sungguh, ulah segelintir kawan di perpustakaan di samping rumah induk itu bisa mengganjal niat dan ikhtiar membangun (atmosfer) rumah budaya sehingga jadi wahana pembelajaran bagi siapa pun untuk menjadi manusia merdeka. Upaya keras sampean menghilangkan stigma belum sepenuhnya berhasil. Namun, kini, bisa ternodai dan muncul stigma tambahan: rumah (itu adalah tempat berkumpul) kaum bergajulan.
Alih-alih sebagai manifestasi kesadaran ideologis (antikemapanan) atau jadi energi kreatif yang ngedab-edabi, mereka menenggak minuman keras lebih sebagai gaya hidup yang kontraproduktif. Cermin ketiadaan daya juang, ketiadaan élan vital. Minum minuman keras, bagi mereka, telah menjadi suaka dari ketidakberdayaan, dari kemalasan, dari kompleks rendah diri.
Pak Soes, sebelum ngambra-ambra, gaya hidup dekaden itu mesti diperangi. Tak ada tempat dan saat bagi sang pemalas untuk tumbuh jadi benalu, jadi parasit, yang kelak membunuh tanaman induk.
Saya percaya, tujuan dan ikhtiar yang baik mesti ditempuh dan diwujudkan dengan cara yang baik, cara yang indah. Membiarkan kemalasan, menenggang gaya hidup dekaden, jelas kontraproduktif bagi pembelajaran bersama untuk jadi manusia merdeka. Saya yakin, jika Pram masih hidup, dia pasti menyetujui sikap dan pendapat saya. Akhirul kalam, merdeka!
 
(Dimuat di rubrik “Latar” Suara Merdeka, Minggu, 8 Maret 2009, halaman 27)

1 komentar:

  1. Mari bergabung bersama ASIANBET77.COM Disini kami menyediakan berbagai macam jenis permainan betting online, seperti Taruhan Bola Online, Casino Online, Togel Online, Sabung Ayam Online dan masih banyak lagi game taruhan online lainnya....

    Pendaftaran gratis tidak dikenakan biaya apapun juga, minimal Deposit sangat ringan, hanya dengan Rp 100.000 saja anda sudah bisa bergabung bersama kami. ASIANBET77.COM bekerja sama dengan bank lokal yakni BCA, MANDIRI & BNI. Sehingga memudahkan anda untuk bertransaksi bersama kami.

    Customer service kami yang Ramah dan Profesional akan siap membantu anda selama 24 jam full, ayo segera daftarkan diri anda bersama kami ASIANBET77.COM. Dan dapatkan promo2 menarik dari kami.untuk keterangan lebih lanjut silahkan hubungi CS kami :

    YM : op1_asianbet77@yahoo.com
    Wechat : asianbet_77
    sms center : +639052137234
    pin bb : 2B4BB06A

    BalasHapus